-->
WELCOME TO IBNU SULAMIN BLOG. PLACE TO SHARE INFORMATION OF ISLAM, EDUCATION, COMPETITION INFORMATION. "SEDERHANA DALAM AS-SUNNAH LEBIH BAIK DARIPADA BERSUNGGUH-SUNGGUH DALAM BID'AH. (Ibnu Mas'ud R.A)"

Selasa, 31 Mei 2011

Climate Smart Leaders





PROGRAM CLIMATE-SMART LEADERS 2011 Mencari Pemimpin Muda Dengan Ide Kreatif Terkait Perubahan Iklim

(memperebutkan Penghargaan Emil Salim Bagi Generasi Muda 2011)

Program Climate-Smart Leaders adalah program yang ditujukan bagi generasi muda dengan usia 15-24 tahun. Program ini bertujuan tidak hanya untuk membangun kesadaran tentang pentingnya peran generasi muda untuk menjawab tantangan perubahan iklim, namun juga memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk terlibat langsung dan melakukan aksi nyata untuk menerapkan gaya hidup hijau (green lifestyle) sebagai salah satu strategi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim.



For more information, visit :

http://www.climatesmartleaders.net/home

WWF's International Smart Gear Competition




World Wildlife Fund (WWF) announced the launch of the 2011 International Smart Gear Competition today, to find innovative ways to reduce the amount of fisheries bycatch. Open to anyone from fisherman, backyard inventors and students, the competition will be open from March 1 to August 31, 2011.

“WWF’s goal with the Smart Gear competition is to inspire innovative ideas for environmentally-friendly fishing gear,” stated WWF VP of Fisheries Bill Fox. “In addition to fishermen losing millions of dollars each year due to bycatch, many other species, sometimes endangered marine life are unintentionally and needlessly killed by antiquated fishing gear, and it is jeopardizing their survival.

For more information, visit :
http://www.smartgear.org/

Tax Seminar and Training 2011

Tax Seminar and Training 2011. SEMINAR

Date : June 6th 2011

Time : 08.30 – 16.00

Place : Hotel Mulia



This training will provide an overview of transfer pricing documentation and settlement of tax disputes, in terms of its various regulations and also the users of these regulations.


SESSION 1 : OVERVIEW OF THE INDONESIAN TRANSFER PRICING REGIME UNDER DJP REGULATION NUMBER PER-43/2010

SESSION 2 : UNDERSTANDING MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE UNDER DJP REGULATION NUMBER PER-48/2010

SESSION 3 : APA (ADVANCE PRICING AGREEMENTS OR ADVANCE PRICING ARRANGEMENTS) AS AN ALTERNATIVE FOR TRANSFER PRICING RESOLUTION


For More Information, visit :
http://www.tst-feui.com

The 3rd International Seminar on Applied Technology, Science and Art (APTECS 2011)


The 3rd International Seminar on Applied Technology, Science and Art (APTECS 2011)

Place : Grha Sepuluh Nopember, Jl. Raya ITS-Surabaya
Date : 06 Desember 2011

This conference is an international forum for policy makers, researchers and practicing engineers to discuss and share their views on resources optimization based on science and technology to achieve nations self-reliance. The event will be held in Surabaya, East Java, the second largest city in Indonesia, known as centre for education, industry and trade for eastern part of Indonesia. The city riches of culture, cuisine and only 1 hour flight from Jakarta or Bali. East Java Province is also famous for its friendly people, beautiful scenery, beaches and landscape.

More Information, visit :
http://www.aptecs.its.ac.id/

Lomba Karya Tulis 2011-Perekonomian





Lomba CALL FOR PAPER :

1. Peserta Kompetisi Lomba karya tulis (4th ECCENTS 2011) ini adalah mahasiswa aktif Diploma maupun Strata 1 dari seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta di Indonesia.
2. Peserta adalah tim yang beranggotakan 2 (dua) orang berasal dari departemen yangsama/ berbeda namun masih dalam satu fakultas dan satu perguruan tinggi.
3. Tiap peserta membuat karya tulis sesuai dengan tema yang telah ditentukan dan harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan panitia.
4. Karya tulis yang dibuat merupakan karya sendiri ( orisinalitas ) dan harus belum pernah dikompetisikan dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk apapun.
5. Materi karya tulis berhubungan dengan tema “KEMANDIRIAN ENERGI BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA”
dengan memilih salah satu sub tema berikut ini ;

1. Relevansi Kebijakan Subsidi dalam Pemenuhan Kebutuhan Energi Nasional
2. Energi Alternatif dan Terbarukan sebagai Diversivikasi Energi untuk Ketahanan Energi
3. Dampak Ekspor Komoditi Energi Terhadap perekonomian Nasional
4. Pengendalian Konsumsi Energi melalui Kebijakan Fiskal Daerah
5. Dampak SDA dan Lingkungan dari Program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik 10.000 MW


For more information , visit :

Memahami lebih dekat "Thibbun Nabawi"


Memahami lebih dekat "Thibbun Nabawi" (ditulis oleh: Abu Abdilhalim bin Muhammad Zaidin bin Achsan)

Abdullah bin Mas’ud z mengabarkan dari Nabi n:
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلَّا قَدْ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً عَلِمَهُ مَنْ عَلِمَهُ وَجَهِلَهُ مَنْ جَهِلَهُ
“Sesungguhnya Allah tidaklah menurunkan penyakit melainkan Dia turunkan pula obatnya. (Hanya saja) ada yang mengetahuinya dan ada yang tidak.” (HR. Ahmad 1/377, 413 dan 453. Hadits ini disahihkan dalam Ash-Shahihah no. 451)



Perkembangan informasi dan kesadaran masyarakat secara umum untuk hidup secara alami (back to nature), membuat metode thibbun nabawi1 semakin dikenal luas. Selama ini thibbun nabawi begitu lekat namanya dengan terapi bekam, atau produk herbal seperti madu, jintan hitam (habbatus sauda’), dan minyak zaitun. Seakan-akan metode thibbun nabawi terbatas pada keempat hal tersebut.
Di sisi lain, masih banyak orang yang dengan mantap mengonsumsi habbatus sauda, madu, juga minyak zaitun secara asal-asalan, tanpa dosis dan acuan yang jelas. Acuannya, “Kata si fulan begini dan begitu, mesti sembuh.” Atau “Yang penting kan minum habbatus sauda’, madu, atau minyak zaitun. Kita mantap, insya Allah sembuh. Dalilnya begini dan begitu….”
Akhirnya, terjadi beberapa peristiwa yang tidak diinginkan terhadap orang-orang di sekitar kita.
Inilah kenyataan pahit yang membuat kita mengelus dada. Sebenarnya, kejadian tersebut dapat kita cegah dengan memahami thibbun nabawi secara benar dan tepat. Oleh karena itu, hendaknya kita merekonstruksi kembali pemahaman kita tentang thibbun nabawi.
Tidak ada yang salah dengan thibbun nabawi. Akan tetapi, sebagaimana hadits di atas, “(Hanya saja) ada yang mengetahuinya dan ada yang tidak.”
Metode thibbun nabawi sangat luas cakupannya. Ada beberapa di antaranya yang disebutkan oleh Allah l dalam Al-Qur'an. Ada pula yang diajarkan Rasulullah n kepada kita melalui sunnahnya. Selain itu, temuan-temuan ilmiah para ahli pengobatan semenjak dahulu juga memperkaya khazanahnya.
Perlu tulisan yang lebih panjang untuk membahasnya secara detail. Secara global, ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dalam memahami thibbun nabawi, sebagai berikut.

1. Thibbun nabawi adalah metode terlengkap untuk menjaga kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Metode ini disandarkan kepada akidah yang kuat, yang meyakini bahwa setiap penyakit yang kita derita merupakan musibah dan ujian dari Allah l. Sebagai seorang muslim yang baik, tentu kita akan menghadapinya dengan lapang dada.
2. Sang Penyembuh tidak lain adalah Allah l. Obat yang baik, dosis yang tepat, dokter/tabib yang mahir, serta menjalani terapi pengobatan semata-mata merupakan sebab. Hal-hal ini tidak memiliki kekuatan apa pun kecuali dengan izin dan kekuatan Allah l. Renungkanlah ucapan Nabi Ibrahim q dalam firman Allah l:
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku.” (Asy-Syu’ara: 80)
3. Syariat menganjurkan kita untuk mencari kesembuhan, yaitu dengan berikhtiar dan melakukan sebab-sebab kesembuhan.
4. Dalam thibbun nabawi, pengobatan bukan semata-mata bersifat fisik, berupa obat/herbal, madu, habbatus sauda’, minyak zaitun, susu dan kencing onta, berbekam, sunat, mencukur rambut, dan lainnya, namun juga bersifat nonfisik, seperti doa atau ruqyah yang syar’i, ketundukan kepada Allah l, taubat, istighfar, shalat wajib, tahajjud, sedekah, hati yang gembira, jiwa yang kuat, sikap optimis, tawakkal, serta berbaik sangka kepada Allah. Thibbun nabawi juga bisa merupakan penggabungan keduanya (fisik dan nonfisik).
5. Pengobatan hendaknya dilakukan oleh orang yang benar-benar mahir atau ahli. Kita tidak boleh menyerahkan pengobatan kepada orang awam atau yang tidak mengetahui ilmu pengobatan. Tabib atau dokter yang ahli adalah orang yang diberi oleh Allah l kemudahan mengetahui jenis-jenis penyakit, sebab-sebabnya, tabiat (karakter) tubuh yang sakit, musim saat sakit, cara pengobatannya, sifat obat/herbal, dan dosis yang tepat, pertimbangan yang masak dalam terapi, memiliki sifat lemah lembut pada pasiennya, dan hal-hal lain yang mendukung proses kesembuhan.
6. Kita wajib menjaga diri agar tidak terjatuh dalam perkara yang haram selama menjalani ikhtiar kesembuhan, baik cara pengobatannya maupun obat yang dikonsumsi. Harus jelas benar halal haramnya dan kita diwajibkan kritis dalam hal ini.
7. Orang yang sakit harus bersabar menghadapi sakitnya. Demikian pula orang yang ada di sekitarnya, baik yang mengobati maupun keluarga yang menemaninya selama sakit. Kesabaran menghadapi sakit yang dialami akan dinilai di sisi Allah l, dengan diampuni dosa-dosanya dan dinaikkan derajatnya. Orang yang mengobati maupun yang menunggu hendaknya tidak bosan-bosan untuk menasihati si sakit agar bersabar.
8. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Artinya, bila kita dapat hidup dengan mengonsumsi makanan yang halal dan alami, berkualitas dan bergizi, yang Allah l mudahkan bagi kita untuk mengonsumsinya, hal tersebutlah yang hendaknya kita lakukan. Namun, apabila keadaan telah mengancam keselamatan si sakit, seperti halnya pada kasus sakit diare atau muntah yang terus-menerus, sementara asupan makanan terganggu, atau demam yang tinggi terus-menerus; hendaknya kita bijaksana untuk mencarikan ahli pengobatan (dokter). Segeralah berobat dan jangan ditunda!
9. Pengaturan keseimbangan dalam segala hal. Misalnya, makan dan minum tidak berlebihan, pengaturan waktu tidur dan bangun, berpakaian, bertempat tinggal, jima’ (berhubungan dengan suami/istri), dan lain-lainnya. Semuanya insya Allah mendukung terwujudnya kesehatan yang optimal.
Demikianlah di antara beberapa hal prinsip dalam pembahasan thibbun nabawi. Semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam.
1 Istilah thibbun nabawi tidak dikenal pada masa Rasulullah n. Istilah ini dimunculkan oleh ahli kedokteran sekitar abad ke-13 M untuk memudahkan klasifikasi ilmu kedokteran, yang merupakan perpaduan dari berbagai disiplin ilmu kedokteran. Saat itu yang menjadi rujukan adalah kitab Zadul Ma'ad karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah (691—751 H/1282—1372 M). Dari kitab inilah istilah thibbun nabawi diambil.

Minggu, 29 Mei 2011

Hukum Chatting (Ngobrol) Antar Lawan Jenis Via Internet


Oleh : Syaikh Nashir bin Hamd Al Fahd

Penanya: Aku adalah seorang pemuda. Aku punya hobi ngenet (main internet) dan chatting (ngobrol). Aku hampir tidak pernah chatting dengan wanita. Jika terpaksa aku chatting dengan wanita maka aku tidaklah berbicara kecuali dalam hal yang baik-baik.

Kurang dari setahun lalu ada seorang gadis yang mengajak aku chatting lalu meminta no HP-ku. Aku katakan bahwa aku tidak mau menggunakan hp dan aku tidak ingin membuat Allah murka kepadaku.

Dia lalu mengatakan, “Engkau adalah seorang pemuda yang sopan dan berakhlak mulia. Aku akan bahagia jika kita bisa berkomunikasi secara langsung”. Kukatakan kepadanya, “Maaf aku tidak mau menggunakan HP”. Kemudian dia berkata dengan nada kesal, “Terserah kamu kalo gitu”.

Selama beberapa bulan kami hanya berhubungan melalui chatting. Suatu ketika dia mengatakan, “Aku ingin no HP-mu”. “Bukankah dulu sudah pernah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak mau menggunakan HP”, jawabku. Dia lalu berjanji tidak akan menghubungiku kecuali ada hal yang mendesak. Kalau demikian aku sepakat.

Setelah itu selama tiga bulan dia tidak pernah menghubungiku. Akupun berdoa agar Allah menjadikannya bersama hamba-hamba-Nya yang shalih.

Tak lama kemudian ada seorang gadis kurang lebih berusia 16 tahun yang berakhlak dan sangat sopan menghubungi no HP-ku. Dia berkata dalam telepon, “Apa benar engkau bernama A?”. “Benar, apa yang bisa kubantu”, tanyaku. Dia mengatakan, “Fulanah, yaitu gadis yang telah kukenal via chatting, nitip salam untukmu”. “Salam kembali untuknya. Mengapa tidak dia sendiri yang menghubungiku?”, tanyaku. “Telepon rumahnya diawasi ketat oleh orang tuanya”, jawabnya.

Setelah orang tuanya kembali memberi kelonggaran, dia kembali menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Jangan sering telepon” namun dia selalu saja menghubungiku. Akan tetapi pembicaraan kami sebatas hal-hal yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk melaksanakan shalat, puasa dan shalat malam.

Setelah beberapa waktu lamanya, dia berterus terang kalau dia jatuh cinta kepadaku dan aku sendiri juga sangat mencintainya. Aku juga berharap bisa menikahinya sesuai dengan ajaran Allah dan rasul-Nya karena dia adalah seorang gadis yang berakhlak, beradab dan taat beragama setelah aku tahu secara pasti bahwa aku adalah orang yang pertama kali melamarnya via telepon.

Akan tetapi empat bulan yang lewat, ayahnya memaksanya untuk menikah dengan saudara sepupunya sendiri karena ayahnya marah dengannya. Inilah awal masalah. Aku mulai sulit tidur. Kukatakan kepadanya, “Serahkan urusan kita kepada Allah. Kita tidak boleh menentang takdir”. Namun dia meski sudah menikah tetap saja menghubungiku. Kukatakan kepadanya, “Haram bagimu untuk menghubungiku karena engkau sudah menjadi istri seseorang”.

Yang jadi permasalahan, bolehkah dia menghubungiku via HP sedangkan dia telah menjadi istri seseorang? Allah-lah yang menjadi saksi bahwa pembicaraanku dengannya sebatas hal yang baik-baik. Kami saling mengingatkan untuk menambah ketaatan terlebih lagi ayahnya memaksanya untuk menikah dengan dengan lelaki yang tidak dia cintai.

Jawab:
Saling menelepon antar lawan jenis itu tidaklah diperbolehkan secara mutlak baik pihak wanita sudah bersuami maupun belum. Bahkan ini adalah tipu daya Iblis.

Engkau katakan bahwa tidak ada hubungan antaramu dengan dia selain saling menasehati dan mengajak untuk melakukan amal shalih. Perhatikan bagaimana masalah cinta dan yang lainnya menyusup melalui hal ini. Bukankah engkau tadi mengatakan bahwa engkau mencintainya dan diapun mencintaimu sedangkan katamu topik pembicaraanmu hanya seputar amal shalih? Kami tahu sendiri beberapa pemuda yang semula sangat taat beragama berubah menjadi menyimpang gara-gara hal ini.

Wahai saudaraku bertakwalah kepada Allah. Jauhilah perkara ini. Cara-cara seperti ini lebih berbahaya dari pada cara-cara orang fasik yang secara terang-terangan ngobrol dengan perempuan dengan tujuan-tujuan yang tidak terpuji. Mereka sadar bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah maksiat. Sadar bahwa perkara itu adalah keliru merupakan awal langkah untuk memperbaiki diri.
Sedangkan dirimu tidak demikian bahkan bisa jadi engkau menganggapnya sebagai sebuah ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

مَا تَرَكْتُ بَعْدِى فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ

“Tidaklah kutinggalkan suatu ujian yang lebih berat bagi laki-laki melebihi wanita” (HR Bukhari no 4808 dan Muslim no 2740 dari Usamah bin Zaid).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بَنِى إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِى النِّسَاءِ

“Sesungguhnya awal kebinasaan Bani Israil adalah disebabkan masalah wanita” (HR Muslim no 7124 dari Abu Sa’id Al Khudry).

Perempuan yang mengajakmu ngobrol dengan berbagai obrolan ini padahal tidak ada hubungan kekerabatan antara dirimu dengannya adalah suatu yang haram. Hati-hatilah dengan cara-cara seperti ini. Semoga Allah menjadikanmu sebagai salah seorang hamba-Nya yang shalih.

Tanya: Sekiranya jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah tidak boleh apakah boleh dia mengajakku ngobrol via chatting?

Jawab:
Wahai saudaraku, hal ini tidaklah dibolehkan. Hubunganmu dengannya semula adalah chatting lalu berkembang menjadi komunikasi langsung via telepon dan puncaknya adalah ungkapan cinta. Apakah hanya akan berhenti di sini?
Semua hal ini adalah tipu daya Iblis untuk menjerumuskan kaum muslimin dalam hal-hal yang haram. Bersyukurlah kepada Allah karena Dia masih menyelamatkanmu. Bertakwalah kepada Allah, jangan ulangi lagi baik dengan perempuan tersebut ataupun dengan yang lain.

Tanya: Apa hukum seorang laki-laki yang chatting dengan seorang perempuan via internet dan yang dibicarakan adalah hal yang baik-baik?
Jawab:
Tidak ada seorangpun yang bisa mengeluarkan fatwa yang bersifat umum untuk permasalahan semisal ini karena ada banyak hal yang harus dipertimbangkan masak-masak. Fatwa yang bisa saya sampaikan kepadamu adalah obrolan dengan lawan jenis yang semisal kau lakukan adalah tidak diperbolehkan. Bukti nyata untuk hal ini adalah apa yang engkau ceritakan sendiri bahwa hubunganmu dengan perempuan tersebut terus berkembang ke arah yang terlarang.

(Dinukil dan diterjemahkan dari Majmu Fatawa Al Adab karya Nashir bin Hamd Al Fahd).

Lampiran:

Berikut kami lampirkan Fatwa Teks Asli berbahasa Arab, sbb:

(مخاطبة الأجنبية عبر الإنترنت)

انا شاب من هوات الانترنت والمحادثة ولله الحمد لا اتكلم مع البنات الا نادر واذا تكلمة لا اتكلم الا فيما يرضي الله عز وجل لا اقول ما يغضب الله وكله في حدود الله وقبل اقل من عام كلمتني بنت وطلبت رقم الهاتف الخاص بي فاجبتها بانني لا استخدم الهاتف ولا احب ان اغضب ربي علي فقالت لي انك شخص مؤدب خلوق وسوف اسعد لو احببتني واحببتك واكملنى حياتنى مع بعض فقلت لها لا اسف لا استخدم الهاتف فقالت كما تريد ومع مرور الايام والاشهر وكل حديثنى مجرد كتابه في المحادثة فقط بعد حوالي شهر قالت لي اريد رقم الهاتف الخاص بك قلت لها لقد اجبتك من قبل قالت ارجوك اتركه معي للزمن واوعدك ان لا اتصل بك الا اذا لزم الامر! فقلت اتفقنى….بعد 3 شهور اختفت ودعيت الله ان يجعلها مهع عباده الصالحين….وبعد فترة من الزمن جائني اتصال قريبب من بنت عمرها 16 سنه خلوقة مؤدبه تتكلم وترتجف!! فقلت نعم قالت انت فلان قلت نعم بم اخدمك قالت فلانه تسلم عليك! تقصد البنت التي كنت قد عرفتها في الانترنت قلت عليك وعليها تحية الاسلام ولماذا لم تتصل قالت تلفون بيتها مراقب….ثم انصرفت فعاودة الاتصال فاحرجة انت اقو لها لا تتصلي فقامت تتصل و تتصل وكل كلامنى في حدود الله وكنى نحث بعض على الصلاة والصوم وقيام الليل وبعد فترة من الزمن صارحتني بحبها لي…ولا اكذب عليك لقد احببتها حب كبير وكنت اتمنى ان اتزوجها على سنة الله ورسوله لما رايته فيها من ادب واخلاق ودين وبعد ان تاكدت انني اول من خاطبته في التلفون ولكن قبل 4 شهور جبرها ابوها على ان تتزوج ابن عمها غصب عنها! وهنا بدات الماساه حيث كرهت النوم فقلت لها سلمي امرك وامري الى الله اللهم لا اعتراض فقامت تتصل بي فقلت لها انه حرام لانك على ذمت رجل اخر

السؤال:

هل من الممكن ان تكلمني في الهاتف؟ وهي على ذمت رجل والله ادرى ان كلامنى في حدود الله ونحث بعض على زيادة الدين ومع العلم ان اباها جبرها على الزواج غصب عنها

ج/ لا يجوز هذا مطلقا ، سواء كانت على ذمة رجل أو لا ، بل هذه من خدع إبليس أن تقول ليس بيني وبينها إلا التناصح والحث على الأعمال الصالحة ، وانظر كيف دخلت مسائل -الحب- وغيرها هنا ، ألا تخبرنا : -كيف أحببتها وأحبتك- وأنتم حديثكم عن الأعمال الصالحة؟ ونحن نعرف شبابا من خيرة الشباب انتكسوا من الالتزام إلى الانحراف بسبب هذه الأمور.

أيها الأخ الكريم اتق الله وإياك وهذه المسالك فإنها أخطر من مسالك الفساق الذين يتحدثون صراحة مع النساء لأغراض سيئة لأن أولئك يعلمون ما هم فيه من معصية ومعرفة الداء طريق الدواء، وأما أنت فلا ، بل قد تظنه قربة ، وقد قال الرسول صلى الله عليه وسلم -ما تركت بعدي فتنة هي أضر على الرجال من النساء وإن أول فتنة بني إسرائيل كانت في النساء- والمرأة التي تحدثك هذه الأحاديث وليس بينك وبينها قرابة محرمة تحدث غيرك، فإياك ثم إياك من مثل هذه الطرق ، جعلك الله من عباده الصالحين

س/ واذا كان الجواب لا هل من الممكن ان تكلمني في الانترنت مجرد كتابه؟

ج/ هذا لا يجوز أخي الكريم ، وعلاقتك معها تطورت من الكتابة في الإنترنت إلى التخاطب في الهاتف إلى التصريح بالحب ، وهل ستتوقف عند هذا؟، وهذا كله طريق لإبليس لإيقاع المسلمين في المحرمات ، فاحمد الله على سلامتك واتق الله ولا تعد الكرة معها ولا مع غيرها

س/ وما حكم الرجل اذا خاطب بنت في الانترنت مجرد كتابه في حدود شرع الله عز وجل ؟

ج/ لا يستطيع أحد أن يصدر فتوى عامة في مثل هذا الموضوع لأن هذا كله يخضع لأمور كثيرة، ولكن الذي أستطيع إفتاءك به هو أن ما كان من جنس عملك هذا في التخاطب معهن فهو لا يجوز ، وأعظم الأدلة على ذلك ما ذكرته أنت في تطور علاقتك بإحداهن

Sumber: http://atsarussalaf.wordpress.com/2010/02/26/hukum-chatting-ngobrol-antar-lawan-jenis-via-internet/

Eight Wonders of Bees According to Al-Quran


Surat An-Nahl ayat 68 dan 69

“ Dan Tuhan-mu mewahyukan kepada lebah : Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, dipohon-pohon kayu, dan ditempat-tempat yang dibikin manusia “(16;68)

Delapan Keajaiban Lebah


If diceramati there are at least eight wonders who owned bees:
1. From the diversity of species and their habitats. Honeybees comprised of several species with physical features and "hangout" which differ from each other: there bee Apis dorsata or forest, which disunda sisebut odeng, with regional spread around the area of ​​sub-tropical and tropical Asia such as Indonesia (from Sumatra to Papua), Philippines and beyond. In addition, Apis laboriosa that we can see the Himalayan region.


2. From the nature polimorfofismenya really bineka. Each member of the colony has a unique anatomical, physiological and biological functions that are very different. In addition there are females who later became queen (queen) and male (drone), there are also groups of worker bees (worker bees), which is actually a female bees but not fully developed reproductive organs. "Printing" the sex itself has recognized this long ago, even since I was in the early phase of the egg. After mating, the queen bee will surround the nest to look for cells that are still empty. To remove an egg, it takes 0.5 minutes. After removing 30 eggs, the queen will break 6 seconds to eat based cell-laid. Eggs candidate worker bees kept small cell section, the lid is flat, and the most numerous. While the egg is more male candidates are placed in the cell size is slightly larger, with a lid and there are prominent black dot in the middle. There is also the queen's eggs are placed in the cell potential is greatest, irregular and usually located alongside a nest.


3. From the side order of life. Bees are always on the social insecticide mutual cooperation and interdependence. The division of tasks and their organizations are very organized, orderly, and discipline of self-awareness to achieve optimal as possible so that the continuity and the ability to form colonies are very strong. In addition there are individual tasks, such as its queen bee laying eggs continuously; male marrying the queen bee, while the worker bee keeping and members feed larvae, build new cells and repair old ones, and process the nectar so honey. There are also other tasks carried together, namely keep the hive from enemy attack.


4. Eating good food, produce that is not less good. Nearly all flowering plants is a "field" for the bee. From there, these animals take nectar, pollen (pollen) and water. Nectar is a complex compound produced by plants necterfier gland in the form of solutions, with sugar concentration varies from about 5% smapai 70% or more of the more nectar contains sugar, the more happy bees visit the flower and water, between 40% to 80%. While pollen, which bees utilized, especially as a source of protein, fat, karbonhidrat, and a little mineral obtained from the "antenna" or male sex cells of plants. A honey bee colony requires approximately 50 kg of pollen per year. About half of the pollen was used for larval food. The elements are produced, in addition to honey, which is believed to be used as food and medicine for many diseases, there are royal jelly, bee pollen, glue or propolis, beeswax or night (beeswax), and bee venom (bee venom or apitoxin).


5. Hard worker. Bees search feed is a worker bee "most senior"and tergesit, with a cruising speed reached 65 km per hour, can travel a distance of 46 km nonstop. When you're carrying nectar, transported in bags of flour that is in feet, speed is only 30 km per hour with a speed of wing vibration as much as 250 times per second. To collect 1 kg of honey, a bee must travel 90000-180000 times and visited many flowers before returning to the nest. This means, if each travel a distance of 3 km round trip, a bee must travel a distance of 3 x (90000-180000) miles to fulfill that duty.


6. Has a unique way of communication between each other. In addition to the pheromone-senyaewa chemical produced from the queen bee-hipofarink gland which controls the activity of worker bees, as a sexual attraction or sebgai guiding compass when it is migrating colony, worker bees bee done utamnya able to communicate through dance. When a bee guide (Scout) got the nectar of flowers, actually entered the nest, she will perform in eight movements such as shaking belly dance, amid a crowd of other bees. Flick and dance performed in different patterns and organized. Through the terms, the other worker bees to know the position of food sources referred to without difficulty.


7. Architects carefully. Bees build their nests in the form of hexagonal cells (hexagon). Besides as a "warehouse" the most effective way to store honey, must be recognized, this form also can trap more oxygen and other elements they need compared to other geometric shapes, such as a circle or rectangle. Development nest itself started from different angles until finally met exactly in the middle.


8. Not interfere unless disturbed. Except that the male bee-weapon-equipped in the form of barbed sting, with venom in it. For those who are hypersensitive, every sting can cause a serious reaction. While those who are not hypersensitive, will not create any impact. Luckily the bees rarely use it to interfere. For him, these weapons serve as a tool to defend themselves when disturbed. Perhaps, because of its wonders why, the bee was chosen to describe a whole person. Because the whole human manusaia believers, according to the apostle is like a bee, do not eat except a good and beautiful, like a fragrant flower; not produce anything except a good and useful, such as honey and a variety of other products, diamping able to adapt well in various places, receive diversity, like work together, tenacious in working, careful and precise in thinking and do not bother, unless disturbed.

Senin, 23 Mei 2011

Mu'adzah Bintu 'Abdillah

He was a tabi'iyah. His name Mu'adzah bintu Abdillah Al-'Adawiyyah Al-Bashriyyah rahimahallah. Berkuniah with Ummush Shahba '. She was the wife of a noble tabi'i, Abush Shahba ', Shilah bin Asyyam t.
Known as a woman of knowledge. He took hadith from Rasulullah n 'Ali ibn Abi Talib,' Aisha Umm al-Mu'mineen, Hisham bin 'Amir Al-Ansari, and Umm' Amr bintu 'Abdillah bin Az-Zubair. A series of scholars narrated hadith from him.

Al-Imam Yahya bin Ma'in t states that Mu'adzah rahimahallah was a tsiqah hujjah, indicated it would robustness of history. Diriwayatkannya hadith are hadiths which can be hujjah, embodied in books which collect the hadiths authentic.
Mu'adzah t is also known as a devout woman. He used to turn on his nights in worship. Once he declared, "I'm really surprised with eyes that always sleeps, when he was aware of the long sleep later in the darkness of the grave."
In a revolving period, turned out to God l set Mu'adzah abandoned by those he loves. Her husband and son died in a battle. The women also came and gathered at the side Mu'adzah.

"Welcome if you come to give congratulations!" Said Mu'adzah welcome them. He continued, "As for if not, then you better come back."
This noble woman died in 83 H, leaving the science is so valuable. L May Allah pleased.
Allaah ta'ala a'lamu bish-shawab.


Source reading:
• Siyar A'lamin Nubala ', Al-Imam adh-Dhahabi (4/508-509)
• Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/308-309).

Mu'adzah Bintu 'Abdillah

He was a tabi'iyah. His name Mu'adzah bintu Abdillah Al-'Adawiyyah Al-Bashriyyah rahimahallah. Berkuniah with Ummush Shahba '. She was the wife of a noble tabi'i, Abush Shahba ', Shilah bin Asyyam t.
Known as a woman of knowledge. He took hadith from Rasulullah n 'Ali ibn Abi Talib,' Aisha Umm al-Mu'mineen, Hisham bin 'Amir Al-Ansari, and Umm' Amr bintu 'Abdillah bin Az-Zubair. A series of scholars narrated hadith from him.

Al-Imam Yahya bin Ma'in t states that Mu'adzah rahimahallah was a tsiqah hujjah, indicated it would robustness of history. Diriwayatkannya hadith are hadiths which can be hujjah, embodied in books which collect the hadiths authentic.
Mu'adzah t is also known as a devout woman. He used to turn on his nights in worship. Once he declared, "I'm really surprised with eyes that always sleeps, when he was aware of the long sleep later in the darkness of the grave."
In a revolving period, turned out to God l set Mu'adzah abandoned by those he loves. Her husband and son died in a battle. The women also came and gathered at the side Mu'adzah.

"Welcome if you come to give congratulations!" Said Mu'adzah welcome them. He continued, "As for if not, then you better come back."
This noble woman died in 83 H, leaving the science is so valuable. L May Allah pleased.
Allaah ta'ala a'lamu bish-shawab.


Source reading:
• Siyar A'lamin Nubala ', Al-Imam adh-Dhahabi (4/508-509)
• Tahdzibul Kamal, Al-Imam Al-Mizzi (35/308-309).

Celaan Atas Kerasnya Qalbu (Bag.2)

Sedangkan sebab-sebab yang dapat menghilangkan kerasnya qalbu juga ada beberapa:

Di antaranya: banyak berdzikir kepada Allah dengan qalbu dan lisan secara beriringan. Al-Mu’allaa bin Ziyad berkata: “Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata kepada Al-Hasan: “Wahai Abu Sa’id, aku hendak mengeluhkan padamu kekerasan qalbuku”. Al-Hasan berkata: “Dekatkan ia dengan dzikir’.”

Wahb bin Al-Wird berkata: “Kami timbang-timbang perkataan ini. Maka tidak ada sesuatu yang kami temukan lebih halus untuk qalbu dan lebih dapat mengantarkan kebenaran daripada membaca Al-Quran bagi orang yang mentadabburinya.

Yahya bin Mu’adz dan Ibrahim Al-Khowash keduanya berkata: “Obat qalbu itu lima perkara: membaca Al-Quran dengan tafakkur, kosongnya perut, shalat malam, bermunajat kepada Allah menjelang subuh dan bermajlis dengan orang-orang shaleh.”

Dan dalil tentang menghilangkan kekerasan qalbu dengan dzikir adalah firman Allah:
الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS.13:28)

Dan firman Allah:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَاباً مُّتَشَابِهاً مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang , gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. (QS.39:23)

Dan firman Allah:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka).” (QS.57:16)

Dan dalam hadis Abdul Aziz bin Abi Rawwad secara mursal, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya qalbu-qalbu ini berkarat sebagaimana berkaratnya besi. Ada yang bertanya: “Lalu apakah yang bisa menghilangkan karat tersebut wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Membaca kitab Allah dan banyak berdzikir kepada-Nya”.

Dan di antara sebab-sebab tersebut adalah: berbuat baik kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan: Ibnul Ja’d menceritakan kepada kami (dia berkata), Hammad bin Salamah menceritakan kepadaku, dari Abu ‘Imron Al-Jauniy, dari Abu Hurairah: “Ada seorang laki-laki yang mengadukan kekerasan qalbunya kepada Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam. Maka beliau bersabda: kalau kamu ingin qalbumu menjadi lembut maka usaplah kepala anak yatim dan berilah makna orang-orang miskin”. Sanad hadis ini baik.

Lafazh ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Mahdi dari Hammad bin Salamah. Dan dia juga diriwayatkan oleh Ja’far bin Musafir (dia berkata): Mu`ammal menceritakan kepada kami (dia berkata), Hammad menceritakan kepada kami, dari Abu ‘Imron, dari Abdullah bin Ash-Shoomit, dari Abu Dzar, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam. Dan sepertinya, ini tidak dihafal dari Hammad.

Lafazh ini juga diriwayatkan oleh Al-Jawzajaaniy (dia berkata): Muhammad bin Abdillah Ar-Roqqoosyiy menceritakan kepada kami (dia berkata), Ja’far menceritakan kepada kami (dia berkata), Abu ‘Imron Al-Jauniy menceritakan kepada kami secara mursal.

Inilah riwayat yang lebih tepat, karena Ja’far itu lebih hafal hadis Abu ‘Imron daripada Hammad bin Salamah.

Abu Nu’aim meriwayatkan dari jalan Abdurrozaq dari Ma’mar, dari seorang sahabatnya: bahwa Abu Ad-Darda` menulis surat kepada Salman: “Sayangilah anak yatim dan dekatkanlah ia kepadamu. Berilah ia makan dari makananmu karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda -ketika beliau didatangi oleh seorang laki-laki yang mengeluhkan kekerasan qalbunya-, “Dekatkanlah anak yatim kepadamu dan usaplah kepalanya serta berilah ia makan dari makananmu karena sesungguhnya itu akan melembutkan qalbumu dan membuatmu mampu memenuhi kebutuhanmu”.

Abu Nu’aim berkata: dan hadis ini juga diriwayatkan oleh Jabir dan Al-Muth’im bin Al-Miqdaam, dari Muhammad bin Waasi’ bahwa Abu Dardaa` menulis surat kepada Salman.. (seperti hadis di atas).

Abu Tholib menukil bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abu Abdillah –maksudnya Ahmad bin Hanbal–: “Bagaimanakah qalbuku bisa lembut?” Ahmad bin Hanbal berkata: “Masukilah tempat pemakaman dan usaplah kepala anak yatim”.

Dan di antara sebab tersebut adalah: banyak mengingat kematian. Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan dengan sanadnya, dari Mansur bin Abdirrohman, dari Shofiyyah dia berkata: “Ada seorang wanita yang datang kepada Aisyah mengeluhkan kekerasaan qalbunya. Maka Aisyah berkata: “Perbanyaklah mengingat kematian maka qalbumu akan lembut dan engkau akan mendapatkan apa yang kau inginkan”. Shofiyyah berkata: “Maka wanita itu mengerjakan apa yang disarankan oleh Aisyah, dan ia pun merasakan hidayah dalam qalbunya. Ia pun datang kembali dan berterima kasih kepada Aisyah rodhiyallaahu’anha”.

Lebih dari seorang dari kalangan ulama Salaf -termasuk di antaranya Sa’id bin Jubair dan Robi’ bin Abu Rosyid- yang telah berkata: “Seandainya mengingat kematian itu lenyap dari qalbu kami walaupun sesaat saja, maka rusaklah qalbu kami”.

Dalam As Sunan, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam beliau bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan,” yaitu: Kematian.

Dan diriwayatkan secara mursal dari ‘Athoo` Al-Khuroosaaniy, dia berkata: “Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam melewati sebuah majlis yang dipenuhi gelak tawa, maka beliau berkata: “Seriuskanlah majlis kalian dengan mengingat pengeruh kenikmatan. Para Sahabat berkata: “Apakah pengeruh kenikmatan itu wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Kematian”.

Dan di antara sebab dalam menghilangkan kekerasan qalbu adalah: Ziarah kubur dengan memikirkan keadaan para penghuninya dan tempat kembali mereka. Dan telah berlalu ucapan Imam Ahmad kepada orang yang bertanya kepadanya mengenai apa yang dapat melembutkan qalbu. Beliau berkata: “Masuklah ke tempat pemakaman”.

Dan telah shahih dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah dari Rasulullah shollallaahu’alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda: “Ziarahilah pekuburan, karena itu akan mengingatkan kepada kematian”.

Dan dari Buraidah, sesungguhnya Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Aku pernah melarang kalian dari menziarahi kuburan, maka (sekarang) ziarahilah karena itu mengingatkan kalian kepada akhirat”. (HR. Ahmad dan At-Tirmidziy dan ia menshahihkannya)

Dari Anas: Sesungguhnya Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Aku pernah melarang kalian dari menziarahi kuburan. Kemudian telah nampak bagiku bahwa ia dapat melembutkan qalbu dan membuat air mata berlinang serta mengingatkan pada akhirat. Maka ziarahilah pemakaman tapi janganlah kalian mengatakan kata-kata keji (di dalamnya)”. (HR. Imam Ahmad dan Ibnu Abid Dun-ya)

Ibnu Abid Dun-ya menyebutkan, dari Muhammad bin Sholih At-Tammaar, dia berkata: Shofwan bin Salim pernah beberapa hari mendatangi pemakaman Al-Baqii`, dan ia melewatiku. Lalu aku mengikutinya pada suatu hari. Aku berkata: “Demi Allah aku akan melihat apa yang sedang ia kerjakan”. Dia berkata: “Maka Shofwan bin Salim menutupi kepalanya dan duduk di salah satu makam. Kemudian ia terus menangis sampai-sampai aku kasihan kepadanya”. Dia berkata: “Aku mengira bahwa itu adalah makam salah satu keluarganya”. Dia berkata: “Kemudian ia melewatiku suatu kali, maka aku kembali mengikutinya. Ia lalu duduk di samping makam yang lain. Dan ia melakukan apa yang kemarin ini dia lakukan. Maka aku menyebutkan hal ini kepada Muhammad bin Al-Munkadir. Dan aku katakan: “Sungguh, aku mengira bahwa itu adalah makam salah satu keluarganya”. Muhammad berkata: “Semuanya itu adalah keluarganya dan saudara-saudaranya. Hanya saja dia itu adalah seorang yang qalbunya tersentuh dengan mengingat orang-orang yang sudah meninggal, setiap kali qalbunya dihinggapi kekerasan”. Dia berkata: “Kemudian Muhammad bin Al-Munkadir setelah itu melewatiku dan dia juga mendatangi pemakaman Al-Baqi`. Maka aku mengucapkan salam kepadanya suatu hari. Dan dia berkata: “Pelajaran dari Shofwan itu tidak bermanfaat apa-apa untukmu”. Dia berkata: “Aku mengira bahwa dia telah mengambil manfaat dari pelajaran yang pernah aku ceritakan padanya”.

Dan disebutkan pula bahwa seorang wanita tua yang sering beribadah dari Abdul Qoys, pernah seringkali mendatangi kuburan. Maka ia ditegur atas perbuatannya itu. Lalu ia berkata: “Sesungguhnya qalbu yang keras itu kalau sudah kasar, tidak ada yang dapat melembutkannya kecuali dengan melihat pemandangan keusangan. Dan sungguh aku mendatangi kuburan, dan seolah-olah aku melihat mereka telah keluar dari permukaan tanah. Lalu seakan aku melihat wajah-wajah yang berdebu itu dan tubuh-tubuh yang telah berubah itu. Juga kain-kain kafan yang kotor itu. Duhai betapa pemandangan itu sedemikian tidak menyenangkan hati mereka. Betapa kepahitan jiwa itu menjadi sebuah pelajaran dan rusaknya badan itu menjadi hal yang sangat berat.”http://www.blogger.com/img/blank.gif

Ziyaad An Namiiriy berkata: “Tidaklah aku ingin untuk menangis melainkan aku hanya tinggal jalan saja”. Seorang laki-laki berkata padanya: “Bagaimana itu?”. Dia berkata: “Kalau aku menginginkannya (menangi), maka aku keluar menuju pemakaman. Lalu aku duduk di salah satu kuburan. Kemudian aku memikirkan keadaan mereka yang sudah hancur. Dan aku mengingat sisa waktu yang masih kita miliki”. Dia berkata: “Maka pada saat itulah keadaanku tersembunyi”.


Aku katakan, dan Allah-lah yang Maha Pemberi Tawfiq:

Apakah di negeri kehancuran ini kau masih saja membangun
Sedang bukan untuk membangun kau diciptakan

Waktu tak menyisakan bagimu alasan
Ia telah menasehatimu tapi kau tak mendengarkan

Setiap saat ia selalu memanggil untuk berangkat
Dan mengabarkan bahwa kaulah yang ia maksudkan

Ia perdengarkan panggilan dan kau terus mengabaikan
Seakan-akan kau tak pernah mendengarkan

Kau tahu bahwa ia adalah perjalanan panjang
Namun kau lalai menyiapkan perbekalan

Kau tidur sedang sang pemangsa waktu terus mengintai
di belakangmu dan tak pernah tidur, bagaimana bisa kau masih lalai?

Cacat kehidupan dunia ini betapa banyaknya
Sedang engkau sudah terbiasa mencintainya

Hilang usia dalam permainan dan besenang-senang
Kalau kau berakal tentu kau takkan berleha-leha

Maka setelah mati yang ada hanya neraka
Bagi yang maksiat dan surga bagi yang taat

Dan kau tak mungkin berharap kembali ke dunia
Untuk melakukan kebajikan yang pernah kau tinggalkan

Hari itu, diriku lah yang pertama kausalahkan
Karena telah melakukan seperti yang kau kerjakan

Duhai diriku, apakah masih saja berlumur maksiat
Setelah empat puluh enam tahun masa telah lewat

Kuharapkan panjang umurku sehingga
bisa kulihat bekal perjalanan yang telah tersedia

Wahai dahan masa muda yang bergoyang penuh kesegaran
Telah berlalu waktu dan seakan kini kau beruban

Kau telah tahu, maka tinggalkanlah jalan kebodohan
Hati-hatilah dengan panggilan itu, sedang kau tak beramal

Wahai yang menghimpun harta, padaku tolong katakan
Apakah yang kau tumpuk bisa mencegahmu dari kematian

Wahai yang mencari pengaruh dan kekuasaan
agar perintahnya selalu dipatuhi oleh bawahan

Kau bersorak ke tahta tanpa kau pedulikan
kau seorang yang zolim ataukah yang berkeadilan

Tidakkah kau tahu bahwa pada saat ia kau raih
Sungguh, sebenarnya tanpa pisau kau sedang disembelih

Kesenangan pada saat kau diangkat menjadi penguasa
Takkan menggantikan kesedihan pada saat kau diturunkan

Jangan tunda lagi karena waktu adalah pedang
Kalau tak bisa kau manfaatkan maka kau telah menyia-nyiakan

Kau lihat waktu telah mengusangkan dahan pepohonan
Dan melipat semua kesenangan yang pernah kau siarkan

Kau tahu sungguh dunia itu hanya mimpi belaka
Yang paling indah kau rasakan tiba-tiba hilang saat terjaga

Maka bagaimana kau terhalang meraih yang abadi
Dan dengan yang fana serta hiasannya kau dibuat sibuk

Itulah dunia yang kalau sehari menyenangkanmu
Ia akan membuatmu susah lebih lama dari hari senangmu

Ia menipumu bak fatamorgana, kau jalan kepadanya
Tanpa kau sadari bahwa kau telah terpedaya

Saksikan berapa banyak ia menghancurkan yang dicinta
Tapi kau bersikap seolah kau takkan tertimpa apa-apa

Kau kubur mereka dan pulang dengan penuh kegembiraan
Atas warisan dan perkebunan yang kau dapatkan

Dan kau lupakan mereka sedang esok kau pun kan fana
Seolah kau tak pernah tercipta dan tak pernah ada

Kau bercerita tentang mereka dan kau berkata: mereka sudah tak ada
Ya, mereka sudah tak ada, demi Allah, seperti kau pun dulu tak ada

Mereka kini jadi ceritamu, sedang esok kau yang jadi tinggal cerita
untuk orang lain, maka berbuat baiklah sekuat tenaga

Setelah mati, orang hanya tinggal jadi kenangan
Maka jadilah orang yang baik saat dikenang

Tentang sang paman yang telah tiada, tanyakan waktu
Dan tentang sang raja, dengan pertanyaan yang tlah kau tahu

Bukankah kau lihat rumah mereka kini tak berpenghuni
Dan segala yang kau kenal, kini kau ingkari

Dan di antaranya: memandangi negri orang-orang yang hancur, dan mengambil ibroh dari jejak-jejak orang terdahulu.

Ibnu Abid Dun-ya meriwayatkan dalam kitab “At-Tafakkur Wal I’tibaar”, dengan sanadnya dari Umar bin Saliim Al-Baahiliy, dari Abul Waliid, bahwa dia berkata: “Ibnu Umar dulu kalau ia hendak menata qalbunya, ia mendatangi bangunan yang telah hancur, kemudian ia berdiri di pintu bangunan tersebut. Lalu ia berseru dengan suara sedih dan berkata: “Kemanakah penghunimu?”. Kemudian ia merenung dan berkata: “Segala sesuatunya akan hancur kecuali wajah-Nya”.

Ibnu Abid Dun-ya juga meriwayatkan dalam kitab “Al-Qubuur” dengan sanadnya, dari Muhammad bin Qudaamah, dia berkata: “Ar-Robii` bin Khutsaim dulu kalau ia merasakan kekerasan pada qalbunya, maka dia mendatangi rumah seorang temannya yang telah meninggal, pada malam hari. Lalu dia berseru: “Wahai fulan bin fulan! Wahai fulan bin fulan! Kemudian dia berkata: “Duhai, apa yang sudah kamu kerjakan dan apa yang sedang diperbuat kepadamu?”. Lalu dia menangis hingga bercucuran air matanya. Karena ia tahu bahwa dirinya akan seperti itu.”

Dan di antara sebabnya adalah: memakan makanan yang halal. Abu Nu’aim dan yang lainnya telah meriwayatkan, dari jalan Umar bin Sholih Ath-Thurthusiy, dia berkata: “Aku pergi bersama Yahya Al-Jalaa` –dan ada yang mengatakan kalau dia adalah salah seorang Abdaal– ke Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, lalu aku bertanya kepadanya. Dan pada saat itu ia bersama Buuroon dan Zuhair Al-Jammaal. Lalu aku berkata: “Semoga Allah merahmatimu wahai Abu Abdillah, dengan apakah qalbu itu menjadi lembut?” Maka ia memandangi sahabat-sahabatnya dan memberi isyarat dengan matanya. Kemudian dia menundukkan kepalanya lalu mengangkat kepalanya dan berkata: “Wahai anakku, dengan memakan makanan yang halal”. Kemudian aku berpapasan dengan Abu Nashr Bisyr bin Al-Haarits sebagaimana biasanya. Maka aku katakan padanya: “Wahai Abu Nashr, dengan apakah qalbu itu menjadi lembut?” Dia berkata: “Ketahuilah bahwa dengan dzikir kepada Allah, qalbu itu menjadi tenang”. Aku berkata: “Aku datang dari Abu Abdillah”. Ia berkata: “Apa yang Abu Abdillah katakan padamu?” Aku berkata: “Dengan memakan yang halal”. Dia berkata: “Dia telah menjawab dengan jawaban yang paling mendasar. Dia telah menjawab dengan yang paling mendasar”. Lalu aku berpapasan dengan Abdul Wahab Al-Warrooq, dan aku berkata: “Wahai Abul Hasan, dengan apakah qalbu itu menjadi lembut?” Dia berkata: “Ketahuilah bahwa dengan dzikir kepada Allah, qalbu itu menjadi tenang”. Aku berkata: “Sungguh aku datang dari Abu Abdillah”. Maka merahlah pipinya karena begitu senangnya. Dia berkata padaku: “Apa yang Abu Abdillah katakan?” Aku berkata: “Dengan memakan yang halal”. Dia berkata: “Dia telah menjawabmu dengan jawaban yang inti. Dia telah menjawabmu dengan yang inti. Hal mendasar ini adalah kesempurnaan hal mendasar yang ini.”

Sebagian orang ada yang menyebutkan perkataan darinya: “Kau telah menukil sebuah ayat, tapi kau luput menjawab dengan yang lebih tepat”.

Dan segala puji hanya bagi Allah semata.

Sumber: Risaalah Fii Dzammi Qoswatil Qolbi, karangan Ibnu Rajab Al-Hanbaliy

Minggu, 22 Mei 2011

Celaan Atas Kerasnya Qalbu (Bag.1)


Adapun celaan atas kerasnya qalbu, maka Allah Ta’ala telah berfirman:
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِّن بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi” (Q.S.2:74)

Kemudian Allah jelaskan sisi lebih kerasnya qalbu dari batu dengan firman-Nya:
وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاء وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللّهِ

“Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah” (Q.S.2:74)

Dan Allah telah berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras.” (Q.S.57:16)



Dan Allah juga telah berfirman:
فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ أُوْلَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S.39:22)

Allah menyifati Ahlul Kitab dengan sifat keras qalbu. Dan Ia melarang kita untuk menyerupai mereka.

Sebagian Salaf berkata: qalbu seseorang tidak akan menjadi lebih keras dari qalbu ahli kitab yang telah mengeras.

Dan di dalam Sunan At-Tirmidziy [1], dari hadis Ibnu Umar, dia berkata: Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam bersabda: “Janganlah kalian banyak berbicara tanpa disertai dzikir kepada Allah, karena sesungguhnya banyak bicara tanpa dzikir menyebabkan kerasnya qalbu. Dan sungguh orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang hatinya keras”.

Dan dalam Musnad Al-Bazzaar [2], dari Anas, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam, beliau bersabda: “Empat hal yang termasuk penderitaan: Dinginnya pandangan, kerasnya qalbu, panjangnya angan-angan dan kerakusan terhadap dunia”.

Ibnul Jauzi menyebutkan hadis ini dalam “Al-Mawdhuu’aat” [3] dari jalan Abu Dawud An-Nakho’iy Al-Kadzdzaab, dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Tholhah, dari Anas.

Malik bin Dinar berkata: “Tidak ada hukuman yang dikenakan kepada seorang hamba, yang lebih besar dari kerasnya qalbu.” Disebutkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam “Az Zuhd”.

Hudzaifah Al-Mar’isyiy berkata: “Tidak ada musibah yang menimpa seorang hamba, yang lebih besar dari kekerasan qalbunya.” Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim.

Adapun sebab-sebab kerasnya qalbu itu sekian banyak.

Di antaranya: banyak bicara tanpa disertai dengan dzikir kepada Allah. Sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar yang terdahulu.

Di antaranya: melanggar perjanjian dengan Allah ta’ala. Allah berfirman:
فَبِمَا نَقْضِهِم مِّيثَاقَهُمْ لَعنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً

“(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu” (Q.S.5:13)

Di antaranya: banyak tertawa. Di dalam Sunan At-Tirmidzi, dari Al Hasan, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shollallaahu’layhiwasallam, beliau bersabda: “Janganlah kalian memperbanyak tawa, karena sesungguhnya banyak tawa itu akan mematikan qalbu”. At-Tirmidziy berkata: Diriwayatkan dari perkataannya Al-Hasan.

Ibnu Majah meriwayatkan dari jalan Abu Roja` Al-Jazari, dari Burdun bin Sinan, dari Makhul, dari Watsilah bin Al-Asqo’, dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah bersabda shollallaahu’alayhiwasallam: “Banyaknya tawa itu mematikan qalbu”.

Dan dari jalan Ibrahim bin Abdullah bin Hunain, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam.

Di antara sebab lainnya adalah: banyak makan, apalagi kalau makanan itu berasal dari sesuatu yang syubhat atau yang haram. Bisyr bin Al-Harits berkata: “Dua hal yang mengeraskan qalbu, banyak bicara dan banyak makan”. Disebutkan oleh Abu Nu’aim.

Al-Marrudziy menyebutkan dalam kitab Al-Waro’, ia berkata: aku berkata kepada Abu Abdillah –maksudnya Ahmad bin Hanbal–: apakah seseorang dapat merasakan kehalusan dari qalbunya dalam keadaan kenyang? Ahmad bin Hanbal berkata: Saya pandang tidak.

Di antara sebabnya adalah: banyaknya dosa. Allah Ta’ala berfirman:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ

“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka”. (QS.83:14)

Di dalam Al-Musnad dan Sunan At-Tirmidziy, dari Abu Hurairah dari Rasulullah shollallaahu’alayhiwasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya seorang mu`min apabila ia berdosa, maka ada bintik hitam di qalbunya. Maka kalau ia bertaubat dan berhenti serta memohon ampun, dikilapkanlah qalbunya. Dan kalau ia terus berdosa, bertambah pula bintik hitam itu sampai menumpuk pada qalbunya. Itulah ‘tutupan’ yang Allah sebutkan dalam kitab-Nya: “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” At-Tirmidziy berkata: Shahih.

Sebagian Salaf berkata: “tubuh itu kalau tak mengenakan apa-apa, terasa ringan. Demikian pula qalbu (akan terasa ringan) kalau sedikit kesalahannya dan mudah meneteskan air mata.”

Dan berkaitan dengan makna ini, Ibnul Mubarok –semoga Allah merahmatinya– berkata:

“Kulihat dosa itu mematikan qalbu
Dan ketagihan dengannya membuatmu hina
Meninggalkan dosa itulah kehidupan qalbu
Dan lebih baik bagimu untuk menentangnya.”

bersambung...

Rabu, 04 Mei 2011

Kiat Mengatasi Terorisme di Tengah Kaum Muslimin

Ada beberapa cara yang secara teoritis dapat ditempuh oleh kaum Muslimin dan pihak-pihak berkepentingan untuk mengatasi dan memutuskan berlangsungnya kegiatan teror. Namun, secara praktis memerlukan kesungguhan dan keikhlasan kerja dari berbagai pihak. Motivasi yang mendorong kerja keras ini, yang paling pokok adalah keimanan kepada Allah Azza wa Jalla, dengan maksud mencari ridha serta pahala-Nya. Sehingga yang diutamakan adalah kemaslahatan dan kepentingan umum, bukan kemaslahatan dan kepentingan pribadi. Dengan demikian, akan tercipta upaya penanggulangan bersama, dalam lingkup ta’âwun ‘alal al-Birri wat-Taqwa (tolong menolong serta kerjasama berdasarkan kebaikan dan ketakwaan), bukan atas dasar berebut kepentingan duniawi yang memicu persaingan tidak sehat dan saling mencurigai.

Akar radikalisme yang memicu tindakan kekerasan dan terorisme sebenarnya sudah muncul semenjak zaman Sahabat masih hidup. Terutama mulai mencuat pada zaman pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu. Oleh sebab itu, beberapa kiat yang akan dipaparkan di bawah ini di dasarkan pada langkah-langkah yang pernah dilakukan oleh para Sahabat dan para Ulama salaf dalam mengatasi berkembangnya akar radikalisme pada waktu itu.

Sebelum menyimpulkan kiat-kiat dimaksud, alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu beberapa riwayat shahîh yang akan dijadikan landasan dalam megambil kesimpulan.

Riwayat-riwayat itu antara lain:
A. Dialog Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu dengan orang-orang khawarij. Beliau bercerita, “Ketika orang-orang Haruriyah [1] melakukan pembangkangan terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu ‘anhu, mereka mengisolir diri di sebuah camp. Jumlah mereka pada waktu itu sekitar 6000 orang. Mereka bersepakat untuk melakukan pemberontakan kepada Ali bin Abi Thâlib. Dan sudah seringkali orang datang kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu dan mengingatkannya seraya berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, sesungguhnya orang-orang Harûriyah itu akan memberontak kepada engkau”. Setiap kali itu pula Ali Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Biarkan mereka. Saya tidak akan memerangi mereka sampai mereka memerangi saya. Dan mereka pasti akan melakukannya!”

Pada suatu hari, sebelum shalat Zhuhur, aku datang menemui Ali Radhiyallahu ‘anhu. Aku berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mu’minin, tundalah shalat Zhuhur sampai waktu tidak terlalu panas, karena aku ingin berbicara sebentar dengan orang-orang Harûriyah itu.

Ali Radhiyallahu ‘anhu menjawab, “Aku mengkhawatirkan engkau.”
Aku menjawab, “Jangan khawatir!” Aku dikenal (di masyarakat) sebagai orang yang memiliki akhlak baik, aku tidak pernah menyakiti siapapun.

Akhirnya Ali Radhiyallahu ‘anhu mengizinkan aku untuk pergi mendatangi mereka. Lalu kukenakan pakaian paling indah yang berasal dari Yaman dan ku sisir rambutku. Selanjutnya aku datangi mereka di suatu perkampungan pada tengah hari saat mereka sedang bersantap siang. Ternyata, aku dapati bahwa mereka itu adalah sekelompok orang yang aku lihat, sebelumnya tidak pernah ada seorang pun yang yang lebih bersemangat dalam beribadah selain mereka. Dahi-dahi mereka hitam menebal karena banyak bersujud. Telapak-telapak tangan mereka seolah-olah seperti lutut onta (karena sering digunakan untuk menopang tubuh saat bersujud). Mereka mengenakan pakaian yang sudah usang, sedangkan wajah-wajah mereka pucat (karena banyak shalat malam).

Aku ucapkan salam kepada mereka. Tetapi jawaban mereka adalah, “Selamat datang wahai Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu ! Mewah sekali pakaian yang engkau kenakan!”

Aku menjawab, “Mengapa kalian mencela aku? Padahal aku pernah melihat Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenakan pakain dari Yaman yang jauh lebih indah daripada yang aku kenakan ini. Kemudian aku bacakan sebuah ayat al-Qur’ân kepada mereka:

“Katakanlah,”Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah di keluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik”? [Ali Imrân/7:32]

Mereka lalu bertanya kepadaku, “Ada perlu apa engkau datang kemari?”

Aku menjawab, “Aku datang sebagai utusan para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu para Muhajirin dan Anshar. Juga sebagai utusan dari anak paman Nabi dan sekaligus menantu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang kepada merekalah al-Qur’ân turun langsung, sehingga mereka pasti lebih memahami tafsir al-Qur’ân dibanding kalian. Sementara itu, tidak ada seorang Sahabat Nabi-pun yang berada di tengah-tengah kalian. Sekarang aku siap (menjadi jembatan) untuk menyampaikan kepada kalian apa yang mereka katakan, dan siap menyampaikan kepada mereka apa yang kalian katakan.

Tiba-tiba sebagian mereka berkata kepada kawan-kawannya, “Kalian jangan melayani pertengkaran dengan orang Quraisy, karena Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

“Sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”. [az-Zukhruf/43:58]

Tetapi, kemudian ada seorang yang datang menuju kepadaku. Orang ini berkata (kepada mereka), “Ada dua atau tiga orang yang akan berbicara kepadanya (maksudnya Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhu)

Maka aku berkata, “Silakan! Apa (sebab) penolakan kalian kepada para Sahabat Nabi n dan kepada anak paman beliau?”
Mereka menjawab, “Ada tiga hal.”
Aku berkata, “Apa saja ketiga hal itu?”
Mereka berkata, “Pertama, karena sesungguhnya Ali Radhiyallahu ‘anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan (agama) Allah Azza wa Jalla. Padahal Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

“Tidak lain hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah”. [al-An'âm/6:57, juga Yûsuf/12:40 dan 67]

Aku berkata, “Ini yang pertama.”

Mereka melanjutkan, “Adapun yang kedua, karena Ali Radhiyallahu ‘anhu telah memerangi (Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma, begitu juga Mu’âwiyah Radhiyallahu ‘anhu), tetapi ia tidak melakukan penawanan perang dan tidak mengambil ghanîmah. Jika yang diperangi Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah orang-orang kafir, berarti tawanannya adalah halal. Tetapi kalau yang diperangi Ali Radhiyallahu ‘anhu adalah orang-orang Mukmin, berarti tidak halal mengadakan tawanan perang dan tidak halal pula memerangi mereka.

Aku berkata, “Ini yang nomor dua, lalu apa yang ketiga?”

Mereka berkata, “Ia telah menghapus kedudukan Amirul Mukminin dari dirinya. Dengan demikian, kalau ia bukan Amirul Mukminin, berarti ia adalah Amirul Kafirin (amirnya orang-orang kafir).

Aku berkata, “Apakah masih ada sesuatu yang lain selain yang tiga itu?”
Mereka menjawab, “Cukup itu saja.”

Selanjutnya, akupun berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian, jika aku bacakan ayat-ayat dari Kitabullâh (al-Qur’ân) dan Sunnah Nabi-Nya yang dapat membatalkan perkatakaan kalian, apakah kalian mau rujuk (kembali kepada kebenaran)?

Mereka menjawab, “Ya.”

Aku berkata, “Adapun perkataan kalian bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu telah menjadikan manusia sebagai penentu hukum dalam urusan agama Allah Azza wa Jalla, maka akan aku bacakan kepada kalian ayat al-Qur’ân yang menjelaskan bahwa Allah Azza wa Jalla telah menyerahkan hukum-Nya kepada manusia dalam masalah yang nilainya hanya seperempat dirham. Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan manusia untuk menetapkan hukum dalam hal ini.

Bukankah kalian membaca firman Allah Azza wa Jalla :

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan hukum dua orang yang adil di antara kamu”. [al-Mâ'idah/5:95]

Dalam ayat ini, ketetapan hukum Allah Azza wa Jalla ialah menyerahkan keputusan hukum kepada manusia agar memutuskan hukum tentang pembunuhan terhadap hewan buruan yang dilakukan oleh orang yang sedang berihrâm. Padahal, jika Allah Azza wa Jalla menghendaki, Dia akan menghukuminya sendiri. Jadi, diperbolehkan putusan hukum manusia.

Demi Allah Azza wa Jalla, aku minta kalian bersumpah; apakah putusan hukum yang dibuat manusia dengan tujuan mendamaikan hubungan kaum Muslimin dan mencegah tertumpahnya darah mereka itu lebih baik ataukah urusan darah kelinci (yang lebih baik)?

Mereka menjawab, “Tentu ini lebih baik.”

Aku melanjutkan, Begitu juga tentang seorang perempuan dengan suaminya, Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (pemutus hukum) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim (pemutus hukum) dari keluarga perempuan”. [an-Nisa'/4:35]

Aku minta kalian bersumpah, apakah ketetapan hukum manusia dalam rangka perdamaian hubungan sesama kaum Muslimin dan dalam rangka pencegahan bagi tertumpahnya darah mereka, itu lebih baik ataukah ketetapan hukum manusia tentang kemaluan seorang perempuan?

Sudahkah jawabanku menjadikan kalian puas?
Mereka menjawab, “Ya.”

Selanjutnya aku berkata, “Adapun perkataan kalian (yang kedua) bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu memerangi (Aisyah Radhiyallahu ‘anhuma), tetapi tidak melakukan penawanan dan tidak mengambil ghanîmah. Maka (aku katakan,) “Apakah kalian akan menawan ibu kalian; Aisyah Radhiyallahu ‘anha ?, Apakah kalian akan menghalalkannya sebagaimana kalian menghalalkan wanita lain sedangkan beliau adalah ibu kalian? Jika kalian menjawab bahwa kami menghalalkannya sebagaimana kami menghalalkan wanita lain yang menjadi tawanan, berarti kalian telah kafir. Sebaliknya jika kalian mengatakan bahwa Aisyah Radhiyallahu ‘anha bukan ibu kami, kalianpun telah menjadi kafir. Sebab Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka”. [al-Ahzab/ 33:6]

Dengan demikian, kalian berada pada salah satu di antara dua kesesatan, silahkan coba cari jalan keluarnya.

Jadi apakah jawaban dapat memuaskan kalian?
Mereka menjawab, “Ya.”

Aku melanjutkan, “Adapun (perkataan kalian yang ketiga) bahwa Ali Radhiyallahu ‘anhu telah menghapuskan kedudukan sebagai Amirul Mukminin dari dirinya; maka akan aku datangkan jawaban yang memuaskan bagi kalian. Yaitu, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika membuat perjanjian damai di Hudaibiyah dengan orang-orang kafir Mekah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu, “Hapuslah wahai Ali (kata Rasul Allah Azza wa Jalla ). Allâhumma, sesungguhnya engkau mengetahui (wahai Ali Radhiyallahu ‘anhu ) bahwa aku adalah Rasul Allah Azza wa Jalla. Tulislah kata-kata, “Ini adalah perjanjian damai yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullâh’.”[2]

(Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu selanjutnya berkata:) Demi Allah, sesungguhnya Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti lebih baik dari Ali Radhiyallahu ‘anhu, ternyata beliau telah menghapus kata ‘Rasul Allah’ dari dirinya, dan ternyata hal itu tidak berarti bahwa beliau menghapus kenabian dari dirinya.
Sudahkah aku dapat keluar (dari perkataan kalian) hingga menjadikan kalian puas?

Mereka menjawab, “Ya.”

Akhirnya, ada dua ribu orang di antara mereka yang rujuk (kembali kepada kebenaran), sedangkan sisanya tetap melakukan pembangkangan dan pemberontakan. Akhirnya, dalam kesesatan mereka, mereka semua dibunuh oleh para Sahabat Muhajirin dan Anshar dalam peperangan”.[3]

Dari riwayat ini dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:

1. Khawârij adalah pencetus lahirnya gerakan radikal kaum Muslimin, yang intinya adalah takfîr (pengkafiran) terhadap umat Islam, khususnya para penguasa.
2. Upaya pembinaan dilakukan dengan cara dialog oleh orang yang ahli dan menguasai dalil.
3. Pelaku pembinaan, di samping harus menguasai dalil dan bermanhaj salaf, juga harus dikenal sebagai orang yang berakhlak mulia, sehingga memperkecil kemungkinan mendapat perlakuan yang berbahaya.
4. Pembinaan dilakukan dengan penuh hikmah. Yang dimaksud penuh hikmah adalah ilmiah berdasarkan kekuatan hujjah dan tidak berbentuk tekanan berupa penghinaan. Sebab, hal itu akan dapat menghambat keterbukaan.
5. Radikalisme dan kegiatan peledakan pada akhir-akhir ini dimotori oleh orang-orang yang memiliki kemampuan mengemukakan dalil-dalil untuk membenarkan tindakannya meskipun salah. Mereka juga menguasai serta menghafalkan dalil-dalil, beberapa kaidah penting dan penafsiran para Ulama terkenal yang mereka fahami menurut kemauan mereka. Sehingga apabila pembinaan dilakukan oleh orang-orang yang tidak menguasai ajaran Islam dengan benar, maka argumentasinya akan dianggap angin lalu, meskipun untuk sementara waktu mungkin ditanggapi diam. Tetapi sebanarnya sedang menimbun api dalam sekam.
6. Mereka tentu terdiri dari kelompok-kelompok yang berjengjang. Karena itu memerlukan penanganan terpisah menurut bobot masing-masing.
7. Intisari dari kesimpulan ini adalah kembali pada manhaj Sahabat. Sebab al-Qur’ân turun langsung kepada para Sahabat, sehingga merekalah yang paling memahami makna-makna dan maksud-maksud al-Qur’ân dengan bimbingan langsung dari Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cara inilah yang ditempuh oleh Ibnu Abbâs Radhiyallahu ‘anhuma, dan beliau adalah seorang Sahabat.

B. Riwayat yang kedua adalah tentang kasus Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr. Seorang tabi’in yang berdomisili di Kufah Irak, negeri yang waktu itu banyak didominasi oleh berbagai aliran menyimpang, di antaranya orang-orang khawârij. Semula, ia termakan oleh pemikiran sesat khawarij, dan bahkan menjadi tokoh. Namun, akhirnya Yazîd terselamatkan dari kesesatan pemikirannya setelah bertemu dengan seorang Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengkonsultasikan pemahamannya tentang al-Qur’ân kepada Sahabat Nabi tersebut.

Riwayat ini terdapat dalam Kitab Shahîh Muslim. Kisahnya adalah sebagai berikut:[4]

Yazid al-Faqîr berkata, “Aku sangat tergiur dengan pemikiran khawârij. Suatu ketika kami keluar bersama sekelompok orang (khawârij) dalam jumlah besar untuk pergi haji, kemudian kami melakukan penentangan kepada umat (dengan kekuatan bersenjata). Kami melewati kota Madinah dan ternyata ada Jâbir bin `Abdillâh z yang duduk sambil bersandar pada salah satu tiang masjid, sedang membawakan hadits-hadits Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selanjutkan Yazîd mengatakan, “Tiba-tiba Jâbir bin `Abdillâh (seorang Sahabat Nabi) menyebut-nyebut tentang Jahannamiyun (orang-orang yang dibakar di dalam neraka Jahanam, namun kemudian dimasukkan ke dalam surga). Aku bertanya kepadanya, “Wahai Sahabat Nabi! Apa yang sedang engkau ceritakan ini?! Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Ya Rabb kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh Engkau pasti hinakan ia (maksudnya pasti kekal dalam neraka)”. [Ali Imrân/3:192]

Dan Allah Azza wa Jalla juga berfirman:

“Setiap kali mereka hendak keluar dari neraka, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya”. [as-Sajdah/32:20].

Jadi, apa maksud ucapanmu ini?!”
Syaikh Masyhûr bin Hasan Alu Salmân, seorang Ulama Yordania, sampai pada penggalan hadits di atas memberikan penjalasan berikut [5]: “Tabi’in (Yazid al-Faqîr) ini berhujjah berdasarkan ayat-ayat al-Qur’ân yang difahami menurut pemikirannya. Ia telah didoktrin dengan ayat-ayat semacam ini bahwa ayat-ayat itu menegaskan pengertian-pengertian yang difahami secara terpisah tanpa melihat hubungannya dengan nash-nash lainnya. Maka, Sahabat Nabi yang mulia, Jâbir bin `Abdillâh Radhiyallahu ‘anhu mengingatkan akan kesalahan manhaji (kesalahan dalam metodologi pemahaman) yang dilakukan Yazîd ini.” Karena itulah, Jâbir bin `Abdillâh berkata kepada Yazîd al-Faqîr:

“Apakah engkau membaca al-Qur’ân?” Aku (Yazîd) menjawab, “Ya”. Jâbir Radhiyallahu ‘anhu berkata lagi, “Apakah engkau pernah mendengar tentang kedudukan terpuji Nabi (al-Maqam al-Mahmûd) yang ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla ?”

Aku menjawab: “Ya”.

Jabir berkata, “Itulah kedudukan terpuji Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang karena kedudukan itu Allah Azza wa Jalla mengeluarkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari neraka.

Selanjutnya Yazîd menceritakan, “Kemudian Jâbir Radhiyallahu ‘anhu menjelaskan sifat pemasangan jembatan shirâth di atas Jahanam dan menceritakan pula sifat lewatnya manusia pada jembatan shirâth ini. Yazîd melajutkan, “Dan masih banyak lagi yang diceritakan Jâbir Radhiyallahu ‘anhu, yang mungkin sebagian aku lupa. Tetapi yang jelas Jâbir z menyatakan tentang kepastiannya bahwa ada sekelompok orang yang akan keluar dari neraka sesudah mereka di azab di dalamnya…dst.”

Setelah Jâbir Radhiyallahu ‘anhu memaparkan hadits itu kepada Yazîd, akhirnya Allah memberikan hidayah petunjuk kepadanya berupa pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat yang dikemukakannya di atas. Yazîd mengatakan, “Kami kembali (ke Kufah), dan kamipun berkata kepada sesama orang yang bersama kami, ‘Aduhai betapa celaka kalian! apa mungkin Syaikh (Jâbir) berdusta atas nama Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?’ Akhirnya, kamipun rujuk (dari pendapat yang salah). Demi Allah Azza wa Jalla, setelah itu, tidak ada seorang pun dari kami yang keluar untuk melakukan pemberontakan kecuali hanya satu orang saja.”

Dari riwayat yang kedua dapat disimpulkan beberapa hal berikut:

1. Melalui keyakinan terhadap kebenaran Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya Allah Azza wa Jalla membukakan pintu hati Yazîd bin Shuhaib al-Faqîr, sehingga dia selamat dari pemahaman sesat yang hampir menjerumaskannya ke dalam tindakan pemberontakan. Keyakinan semacam ini, bagi para Ulama Rabbani, merupakan salah satu syarat bagi seseorang yang ingin mendapat manfaat dari bimbingan para Ulama, sehingga langkahnya menjadi benar, dalam kondisi apapun pada umumnya, maupun dalam kondisi kacau pada khususnya [6].
2. Pembinaan untuk menyadarkan kaum radikal akan sangat bermanfaat bila menggunakan hujjah-hujjah yang dikemukakan para Ulama berdasarkan hujjah para Sahabat. Sehingga syubhat (keracuan faham) yang menyelimuti pemikiran mereka akan tersingkirkan. Itulah jalan satu-satunya untuk memperbaiki pemahaman serta langkah-langkah mereka [7].
3. Dialog-dialog pembinaan harus dilakukan oleh orang-orang yang manhajnya lurus dan menguasai dalil.
4. Kisah ini membuktikan perlunya semua Muslim memahami nash-nash al-Qur’ân dan Sunnah dengan mengikuti pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Secara keseluruhan, melalui dua riwayat di atas dapat disimpulkan langkah-langkah berikut:

1. Mengembalikan umat Islam pada pemahaman Islam yang benar sebagaimana pemahaman para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Pembinaan yang benar kepada umat Islam terutama generasi mudanya. Pembinaan ini harus melibatkan para tokoh yang betul-betul memahami Islam, dalil-dalil serta istidlâl (penggunaan dan penerapan dalil)nya.
3. Bimbingan serta penyuluhan dari pihak-pihak berkepentingan berdasarkan dalil-dalil serta argumentasi-argumentasi yang kuat yang bisa diterima sebagai kebenaran oleh semua kalangan meskipun tidak sependapat.
4. Tidak semua orang diperkenankan ikut bersuara dan berbicara, apalagi tanpa dalil. Sebab, hal ini tidak menyelesaikan masalah, justru menambah ketidakpercayaan banyak kalangan umat Islam. Dan ini berarti menimbun api dalam sekam. Apalagi sindiran-sindiran keras melalui forum-forum resmi yang tidak berdasarkan dalil.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antaramu)”. [an-Nisâ'/4:83]

5. Memutuskan mata rantai tumbuh kembangnya pembinaan radikal ala takfîri. Tokoh-tokohnya dipisahkan secara bijaksana dengan para obyek binaan. Masing-masing ditangani secara terpisah dalam wadah pembinaan tersendiri, sesuai dengan bobot masing-masing.
6. Menjelaskan perbedaan makna antara jihad syar’i dengan jihad-jihad lain yang revolusioner dan tidak syar’i. Wallâhu A’lam, wa ‘alaihi at-Tuklân.

Marâji’:
1. Fathul Bâri, Jâmi’atul Imam, Riyâdh, KSA.
2. Shahîh Muslim Syarh an-Nawawi, tahqîq: Khalîl Ma’mûn Syiha, Dârul-Ma’rifah, Beirut, cet. III, 1417 H/1996 M.
3. Limadza Ikhtartu al-Manhaj as-Salafiy, Syaikh Sâlim bin ‘Id al-Hilâliy, ad-Durarr al-Atsariyah, Amman, Yordania, cet. I, 1420 H/1999 M.
4. Al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahîhain, Imam al-Hâkim, Dârul-Ma’rifah, Beirut, cet. II, 1427 H/2006 M
5. Al-’Irâq Fî Ahâdîts wa Atsar al-Fitan, Syaikh Abu Ubaidah Mashûr bin Hasan Alu-Salmân, Maktabah al-Furqân, Dubai, Emirat, cet. I, th. 1425 H/2004 M.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10//Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]