-->
WELCOME TO IBNU SULAMIN BLOG. PLACE TO SHARE INFORMATION OF ISLAM, EDUCATION, COMPETITION INFORMATION. "SEDERHANA DALAM AS-SUNNAH LEBIH BAIK DARIPADA BERSUNGGUH-SUNGGUH DALAM BID'AH. (Ibnu Mas'ud R.A)"

Senin, 11 April 2011

Mengenal Lebih Dekat Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah bagian 2

Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:

a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:

“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”

“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)

Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)

b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).[3]

c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”[6]

Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)

Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)

Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala (takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)

d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)

e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)

Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)

f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)

Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)

g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)

Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)

Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.[8]

Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.

Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.

Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol. V/No. 55/1430 H/2009
[1] Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Makkah, dan sebagian yang lain bukan Makkah.

[2] Lihat perkataan mereka pada sub judul Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat.

[3] Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472.

[4] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid rububiyah.

[5] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid asma’ wash shifat.

[6] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid uluhiyah.

[7] Sungguh mengherankan orang-orang yang sangat fanatik terhadap madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, sementara dalam masalah tauhid asma’ wash shifat mereka tinggalkan madzhab beliau yang lurus, kemudian berpegang dengan madzhab Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yang sesat.

[8] Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir terhadap kitab Ar-Risalah hal. 8.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=573#more-573

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan berikan Komentar, saran, dan masukan anda.,..